Jumat, 02 Desember 2011

Kebebasan Berserikat bagi Buruh, Dulu dan Sekarang

Ketika dikekang, serikat buruh tak berkembang. Saat dibebaskan, menjadi tak terorganisasi dengan baik. Semua berjalan sendiri-sendiri dan merasa paling benar.



Yel-yel “Buruh bersatu tak bisa dikalahkan!” nampaknya tak asing di telinga kita saat organisasi serikat buruh melakukan aksi mogok atau unjuk rasa menyuarakan aspirasinya. Baik itu ketika mengadvokasi suatu kasus ataupun mengusung isu kebijakan perburuhan. Ungkapan itu, justru menunjukkan kondisi ril bahwa berbagai organisasi serikat pekerja saat ini belum bisa disatukan dengan cara menggalang kekuatan bersama untuk satu tujuan yakni menyejahterahkan buruh.  

Meski kran kebebasan berserikat telah dibuka lebar sejak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan disahkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, gerakan serikat buruh masih sulit disinergikan untuk mencapai tujuan itu. Akibatnya, terhadap persoalan yang sebenarnya menjadi isu bersama, berbagai organisasi serikat pekerja yang ada cenderung berjalan sendiri-sendiri.

Selain itu persoalan di tingkat kebijakan, kebijakan perburuhan belum berpihak pada buruh. Sebut saja persoalan sistem buruh kontrak, praktek outsourcing, dan politik upah marah. Meski wacana revisi kebijakan soal itu –yang tertulis lewat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan– yang diusung organisasi serikat pekerja sejak tiga tahun lalu bergulir, tetapi belum ada hasil yang signifikan.

Nampaknya, keterwakilan tiga konfederasi serikat pekerja dalam lembaga tripartit nasional -yang berfungsi memberikan saran/pendapat kepada pemerintah untuk menyusun kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan- dinilai tidak optimal dalam memperjuangkan nasib buruh. Maka wajar bila ada beberapa serikat pekerja tidak merasa terwakili oleh tiga konfederasi yang duduk di lembaga LKS Tripartit Nasional. Salah satunya adalah Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) 

Belum otimalnya lembaga LKS Tripartit Nasional itu pun menjadi sorotan/catatan Menakertrans Muhaimin Iskandar saat membuka Diskusi Publik Catatan Isu Perburuhan Tahun 2009 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beberapa waktu lalu. Terutama memandang penyelesaian soal buruh kontrak, outsourcing, dan pesangon yang menjadi stagnasi hubungan industrial Indonesia. Padahal keberadaan wakil serikat pekerja (konfederasi) di Tripartit Nasional memiliki posisi yang strategis untuk memperjuangkan nasib buruh.          

Penyatuan dipaksa
Seperti diketahui zaman Orde Baru (Orba) merupakan era yang sulit bagi serikat buruh. Pemerintah kerap mengintervensi intenal organisasi serikat buruh yang dilegitimasi lewat beragam aturan. Tak jarang aktivitas serikat buruh kala itu mendapat intimidasi dan kekerasan fisik oleh penguasa. Pada awal Orba, dibentuknya Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) merupakan kesatuan dari seluruh organisasi buruh di Indonesia. Pada Februari 1973, MPBI berubah nama menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui pemerintah.  

Kebijakan itu dikuatkan lewat Permenakertrans No. 1/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh yang dalam Pasal 2-nya dinyatakan organisasi buruh yang berbentuk gabungan, harus memiliki pengurus daerah sekurangnya di 20 provinsi dan anggota 15 serikat buruh. Kondisi saat itu rasanya tak mungkin bagi serikat buruh untuk memenuhi persyaratan itu tanpa dukungan dari pemerintah. Sehingga hanya FBSI dengan 21 Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan yang dianggap sah.

Selain itu, pelibatan militer dalam mengintervensi serikat buruh sangat kentara. Keterlibatan itu pun dilegalisasi lewat Kepmenakertrans No. 342/1986 yang menyatakan aparat keamanan boleh ikut campur dalam penyelesaian perselisihan perburuhan terutama yang mengarah pada aksi mogok. Hingga tahun 1994, intervensi itu terus berlangsung. Kepala Staf Kopkamtib Soedomo berhasil mendorong “Deklarasi Penyatuan” buruh di Kongres FSBI pada tahun 1981.

Langkah Soedomo memasung kebebasan berserikat semakin menjadi setelah ia diangkat menjadi Menakertrans pada Maret 1983. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan Kepmenakertrans No. 645 Tahun 1985 tentang Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP dilaksanakan bersifat kemitraan/kekeluargaan. Dalam artian, pihak yang berselisih tak dibenarkan menggunakan bentuk-bentuk penekanan terhadap pihak lain. Karenanya, hak mogok tak mendapat tempat dalam HIP.

Kemudian pada 1985, FSBI berubah nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Perubahan ini menandakan FSBI yang dulunya federalis menjadi unitaris yang lebih sentralistis. Mereka yang tak setuju perubahan nama mendirikan Sekretariat Bersama Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan. Namun Soedomo membalas sikap itu dengan mengirimkan surat resmi ke Mendagri untuk tidak menerima pendaftaran serikat buruh selain SPSI.         
       
Direktur Trade Union Right Center (TURC) Surya Tjandra mengatakan penyatuan serikat buruh dalam satu wadah tunggal bukan membuat gerakan serikat buruh menjadi kuat, namun sebaliknya. Menurut Surya penyatuan serikat buruh pada zaman orde baru merupakan hal yang dipaksakan. Pada tahun 1970-an, berbagai serikat buruh dipaksa menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI). Pada tahun 1985, seluruh serikat buruh pun kembali dipaksa menjadi SPSI oleh pemerintah.  

“Ditekan dari militer, intel, pengusaha jadi Ketua SPSI. Kalau tak mau, serikat buruh disuruh bubar.  Dulu (zaman orba, red), kalau elitenya yang ngomong, semua anggota di bawahnya dianggap nurut. Perlawanan yang muncul dari bawah langsung ‘disikat’ militer,” kata Surya. Berbeda dengan saat ini, pasca disahkannya UU Serikat Buruh organisasi saat ini lebih kritis dan partisipasi ketelibatan buruh dalam berserikat lebih besar.

Menurut data Depnakertrans hingga akhir 2009 tercatat ada sekitar 91 federasi serikat dan tiga konfederasi yang diakui pemerintah yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). KSPSI dibentuk oleh 16 federasi serikat pekerja dengan jumlah anggota sebanyak 1,657 juta orang, sementara KSPI dan KSBSI dibentuk oleh 8 federasi dengan jumlah anggota masing-masing 793 ribu dan 227 ribu orang. Jumlah itu belum termasuk organisasi serikat buruh “jalanan” dan tingkat perusahaan yang tak berafiliasi konfederasi/federasi manapun.

Banyaknya organisasi serikat dikeluhkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi dalam kesempatan diskusi isu perburuhan tahun 2009 di Jakarta. Ia menganggap pihaknya kesulitan berdialog ketika membahas hal-hal yang dikeluhkan serikat pekerja. Pasalnya, jika Apindo berdialog dengan salah satu konfederasi di Tripartit Nasional, organisasi serikat buruh yang lain tak setuju lantaran tak mengakui keterwakilan konfederasi itu.

Di sela-sela acara diskusi di Jakarta, (22/12) Dirjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans Myra Hanartani mengatakan mulanya dari tiga Konfederasi total anggotanya berkisar 8 jutaan. Namun saat ini jumlahnya menurun menjadi 3,4 jutaan dari seluruh serikat pekerja yang berbentuk konfederasi dan federasi.

Sementara itu Indrasari Chandra Ningsih, seorang peneliti perburuhan, berpendapat penurunan jumlah anggota serikat pekerja itu sangat mungkin terjadi lantaran UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerapkan Labour Market Flexibility (LMF) dengan dilegalisasinya praktek sistem kontrak dan outsourcing. Akibatnya, banyak pekerja yang awalnya pekerja tetap dan menjadi anggota serikat pekerja tertentu, kemudian tak lagi menjadi anggota serikat pekerja lantaran statusnya berubah menjadi karyawan kontrak atauoutsourcing. 
    
Faktor Elit
Selain perbedaan ideologi, faktor pengurus tingkat elit (konfederasi) menjadi faktor utama sulitnya gerakan buruh menggalang kekuatan bersama untuk mencapai tujuannya.     

“Ada semacam komunikasi yang terputus antara pengurus di tingkat elit dan di tingkat basis. Di elit mempersoalkan apa, di bawah mempersoalkan apa,” kata Surya. “Konsekuensi logisnya ya bersatu atau istilahnya penggabungan (satu konfederasi).”   

Surya menilai kesulitan bersatunya serikat buruh disebabkan lemahnya organisasi puncak di tingkat konfederasi lantaran banyak interest. Akibatnya, kerap timbul ketidakpercayaan antara serikat pekerja tingkat basis dan elite. Sebenarnya serikat pekerja di level bawah tak sulit untuk bersatu jika semata-mata untuk kesejahteraan buruh. Padahal kekuatan sesungguhnya gerakan serikat pekerja ada pada federasi atau serikat pekerja. Ia mencontohkan sebuah Aliansi Buruh Yogyakarta dimana tiga konfederasi masuk sebagai anggota selain serikat pekerja tingkat perusahaan.

“Kalau di level elite, biasanya tiga konfederasi ini tak mau gabung, tetapi di level bawah mereka bisa gabung. Yang penting ada kesamaan tuntutan kepentingan. SPSI yang disinyalir pro pemerintah, anggotanya di tingkat bawah enggak tuh. Malah militan,” katanya. “Di Batam, serikat pekerja LEM (SPSI) demo-demo untuk upah minimum gabung dengan serikat pekerja metal. Jadi kalau serikat buruh (tingkat basis) semakin dekat dengan masalah, semakin mudah disatukan.”      

Problemnya, kata Surya, ada kecurigaan antar sesama serikat pekerja. Hal ini disebabkan peninggalan zaman orde baru yang masih membekas. Banyak pengkhianatan terjadi dalam gerakan serikat buruh itu sendiri kala itu. “Misalnya teman salah satu teman sesama anggota serikat menjadi mata-mata pemerintah, akhirnya menjadi korban.” 

Menurut Surya persatuan itu mestinya datangnya secara alamiah dan jujur. Pasalnya, kondisi kebebasan berserikat saat ini relatif tak terlalu bermasalah. Pada akhirnya serikat buruh akan merasakan kebutuhan itu. Kalau dipaksakan akan terjadi resistensi. “Kepercayaan tak bisa datang secara tiba-tiba dan mesti dibangun pelan-pelan dan tak bisa dipaksakan, jika dipaksakan akan timbul resistensi,” ujarnya menyarankan.

Solusinya, kata Surya, langkah awal memperkuat serikat pekerja di tingkat lokal daerah, misalnya membentuk aliansi untuk masing-masing daerah bersifat informal yang anggotanya kombinasi berbagai unsur serikat buruh lintas sektoral dan hierarki. Selain itu perlu memiliki satu organisasi sentra berbentuk konfederasi. “Elitenya kalau mau cepat bersatu harus mendekatkan diri dengan masalah atau masalahnya didekatkan ke atas, makanya perlu penguatan di tingkat basis. Kalau keduanya sama-sama kuat akan sangat menakutkan pemerintah dan pengusaha.” 
  
Surya menambahkan, bersatunya buruh itu seharusnya menjadi konsekwensi logis dari fenomena adanya penurunan keanggotaan serikat pekerja yang terus berlanjut. Di sisi lain, semakin banyak organisasi serikat buruh, tetapi buruh yang menjadi anggota serikat buruh semakin sedikit.

Hal senada diungkapkan Koordinator Komite Solidaritas Nasional -aliansi beberapa serikat buruh dan pemerhati perburuhan- Anwar Ma'ruf. Ia mengatakan untuk mengadvokasi isu perburuhan tak akan berhasil jika berbagai organisasi serikat berjalan sendiri-sendiri.

Sulitnya organisasi serikat buruh bersatu disebabkan karena pengurus serikat pekerja di tingkat elite. Sementara para anggotanya di tingkat bawah kecenderungannya mereka bisa bersatu karena memiliki kepentingan dan tujuan yang sama.

Menurutnya ada beberapa kategori pengurus elite yakni ada elite yang sudah terkooptasi pemerintah dan pengusaha, kepentingan pribadi, dan murni untuk kepentingan buruh. “Sebenarnya yang tak bisa bersatu para pimpinan serikat pekerjanya dengan alasan masing-masing. Perbedaan ideologi saat ini bukan masalah,” kata pria yang akrab disapa Sastro itu, Senin (21/12) pekan lalu.

Meski demikian baik Surya maupun Sastro meyakini suatu saat gerakan serikat buruh di Indonesia bisa disatukan. Pada waktunya akan muncul semangat persatuan karena persatuan harus menjadi cita-cita gerakan buruh dan hal itu sebuah keniscayaan. “Ketika beberapa serikat buruh di Tangerang menuntut upah, mereka tidak melihat warna bendera. Saya yakin bisa bareng, tinggal nunggu waktu saja gerakan buruh bisa bersatu,” tambah Sastro. 

Sumber:

Memperdebatkan Istilah ‘Perundingan’ dan ‘Pembahasan’

Serikat Pekerja HSBC menilai penggunaan kata ‘pembahasan’ dalam PKB malah menghilangkan hak dasar serikat pekerja untuk berunding.



Apa perbedaan arti dari kata ‘berunding’ dengan ‘membahas’ atau ‘perundingan’ dengan ‘pembahasan’? Bisa jadi Anda akan langsung mengatakan tak ada perbedaan makna. Tapi tidak demikian dengan Serikat Pekerja The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) Indonesia. Bagi mereka, perbedaan dua kata itu amat penting. Saking pentingnya sampai-sampai Serikat Pekerja membawa masalah ini ke pengadilan.

Ceritanya begini, pada Februari hingga Mei 2010 lalu Serikat Pekerja dan pihak manajemen melakukan perundingan untuk memperbarui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang masa berlakunya habis pada Desember 2010.

Dari perundingan selama itu, ada dua klausul yang belum ditemui kesepakatan. Pertama, soal cuti hamil yang diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) PKB. Kedua, tentang kenaikan gaji yang dicantumkan pada Pasal 27 Ayat (2) PKB.

Untuk pasal tentang cuti hamil, pihak manajemen meminta agar cuti hamil selama tiga bulan diambil 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Sementara Serikat Pekerja tetap mempertahankan rumusan aturan sebelumnya di mana karyawati boleh mengambil cuti hamil beberapa hari sebelum melahirkan sampai tiga bulan kemudian.

Sedangkan penghalang kesepakatan antara manajemen dengan Serikat Pekerja soal aturan kenaikan gaji adalah kata-kata ‘membahas’ dan ‘pembahasan’ di dalam rumusan Pasal. Pihak serikat pekerja ingin menggantinya dengan kata ‘berunding’ dan ‘perundingan’.

Rumusan Pasal 27 Ayat (2) PKB lengkapnya berbunyi, “Pelaksanaan kenaikan upah dilakukan setiap tahun pada bulan April. Bank dan Serikat Pekerja bertemu dan membahas bersama tentang besarnya kenaikan upah tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan kenaikan upah. Dalam pembahasan tersebut, hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan cara perhitungan kenaikan upah tersebut diatur lebih lanjut.” 
  
Pihak Serikat Pekerja beralasan kata ‘membahas’ dan ‘pembahasan’ membatasi mereka dalam memperjuangkan kesejahteraan karyawan. “Dengan dua kata itu, pihak manajemen bisa menerapkan secara sepihak soal kenaikan upah. Jika diganti dengan kata ‘berunding’ atau ‘perundingan’, maka penetapan kenaikan upah dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan serikat pekerja,” kata kuasa Serikat Pekerja, Saepul Tavip yang juga Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia kepada hukumonline, Selasa (25/1).

Ketua Umum Serikat Pekerja  HSBC, Sigit Djati Laksono menuturkan kata ‘membahas’ dan ‘pembahasan’ itu sudah melekat di PKB sejak 2006. Akibatnya, tuntutan kenaikan harga yang diajukan oleh Serikat Pekerja selalu tak memuaskan. “Sebagai contoh, terakhir kita menuntut kenaikan upah 18 persen karena keuntungan perusahaan setiap tahun selalu meningkat. Namun ternyata perusahaan hanya menaikkan sebesar empat persen.”

Perdebatan antara Serikat Pekerja dengan pihak manajemen ini pun berlanjut ke tingkat mediasi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam anjurannya, mediator menyarankan agar pasal tentang cuti hamil tetap diberlakukan ketentuan lama yang membebaskan karyawati untuk kapan saja mengambil cuti. Sedangkan untuk ketentuan tentang kenaikan gaji, mediator menganjurkan tetap menggunakan istilah ‘membahas’ dan ‘pembahasan’.

Tak puas dengan hasil anjuran mediator, pihak Serikat Pekerja lalu mengajukan gugatan perselisihan kepentingan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Intinya hanya menuntut agar hakim menetapkan bahwa istilah ‘berunding’ dan ‘perundingan’ yang digunakan di Pasal 27 Ayat (2) PKB. Persidangan saat ini sudah memasuki agenda pembuktian.

Filosofis
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ‘membahas’ memiliki arti membicarakan, memperdebatkan, mengkritik atau membantahi. Sementara istilah ‘berunding’ memiliki makna bercakap-cakap, berbicara atau berembuk.

Walau secara bahasa tak jauh berbeda, pihak Serikat Pekerja berpandangan bahwa ada perbedaan prinsip ketika PKB hanya menyebutkan kata ‘membahas’ dan ‘pembahasan’. “Sebab, hak berunding adalah hak yang melekat pada suatu serikat pekerja. Mengganti istilah ‘berunding’ menjadi ‘membahas’ berarti mengabaikan dan mereduksi hak dasar Serikat Pekerja,” ungkap Tavip.

Lebih jauh Tavip berharap PHI Jakarta dapat mengabulkan gugatan ini sehingga bisa dicontoh oleh serikat pekerja lain ketika menyusun Perjanjian Kerja Bersama. “Semoga bisa jadi preseden bagi serikat pekerja yang lain.”

Sampai berita ini diturunkan, hukumonline belum mendapatkan konfirmasi dari pihak perusahaan.

Sumber: