Jumat, 02 Desember 2011

Karyawan Dipecat Karena Mencoret Foto Atasan

Canda sering buat orang tertawa. Tapi, pernahkah terpikir jika canda juga bisa berujung pada PHK? Demikian yang dialami Samhuri. Karyawan yang menjabat supervisor security di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan ini terpaksa dipecat karena dianggap mencemarkan nama baik atasannya.

Samhuri dituduh mencemarkan nama baik atasannya hanya karena mencorat-coret foto atasannya. Pria yang sudah bekerja sejak 1997 itu dipecat dengan tawaran pesangon. Tak terima dengan pemecatan itu, Samhuri menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Ia hanya menuntut agar dipekerjakan kembali di hotel itu dengan jabatan dan hak seperti terakhir ia terima.

Kepada hukumonline, Samhuri tak membantah telah mencorat-coret foto Bambang, atasannya yang menjabat Chief Security. Yang membuat ia heran, kejadian itu sudah berlangsung beberapa tahun lalu. “Sekitar 2007 atau 2008, saya lupa,” akunya. Namun pihak perusahaan mengungkitnya lagi pada Desember 2010.

Kala itu, Samhuri membuat tulisan komentar di balik foto Bambang. Ia menuliskan ‘Teroris dari Jawa kowek’. Setelah ditulisi, Samhuri tak lantas menempelkan foto itu. Tapi menyimpannya di rak susun (filling cabinet).

Oya, sebelumnya Samhuri menuturkan bahwa ia bersama rekan-rekan sekuriti yang lain memang kerap bercanda. Termasuk dengan Bambang. Secara lisan maupun tulisan. Bahkan Bambang kerap bercanda dengan memanggil Samhuri dengan predikat yang aneh.

“Sebenernya Bambang sama saya itu temen udah kayak sodara. Jadi Bambang itu kalau ketemu (manggil,-red) saya, ‘eh copet, eh maling, kemana loe, sini loe.’ Sudah biasalah,” kata Samhuri.

Terkait foto ‘teroris’, Bambang mengetahui bahwa Samhuri pelakunya. Bambang langsung memanggil Samhuri dan langsung bertanya kepada Samhuri apakah dirinya yang menulis kalimat itu. Samhuri mengiyakan dengan disertai alasan bahwa sebelumnya Bambang juga pernah meledek dirinya. Atas dasar itu mereka berdua sepakat untuk damai dan tidak lagi bercanda. Jabat tangan dilakukan sebagai tanda perdamaian.

Beberapa tahun kemudian foto itu dipermasalahkan kembali oleh Bambang. Pada 11 Maret 2011 Samhuri dipanggil HRD dan disuruh menulis kronologis peristiwa foto Bambang yang dicorat-coret. Merasa permasalahan ini sudah lama selesai dengan damai maka Samhuri menolaknya.

Panggilan kedua pihak HRD kepada Samhuri berlangsung pada 14 Maret 2011. Dalam kesempatan itu Samhuri diminta menandatangani surat kronologis dari pihak manajemen yang menunjukkan bahwa Samhuri pernah mengancam Bambang. Merasa tidak pernah melontarkan kalimat itu, Samhuri menolak tandatangan.

Selang beberapa hari pihak manajemen kembali memanggil Samhuri. Panggilan ketiga ini Samhuri dipanggil oleh Hendra selaku Staf HRD dan Bambang. Kali ini Samhuri ditawari PHK atau mengundurkan diri. Oleh karena itu Samhuri diminta menulis di atas selembar kertas yang ditempeli materai. Alih-alih menulis surat pengunduran diri ia malah menulis kalimat yang menyatakan kalau dia hanya mau bekerja.

Awal April 2011 terjadi pertemuan yang dihadiri manajemen dan Marulloh serta Samhuri. Posisi Marulloh sebagai rekan kerja Samhuri menjadi saksi dalam kasus foto itu. Samhuri menilai kesaksian Marulloh berbeda dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Pada 14 April 2011 pertemuan kembali dilakukan pihak manajemen. Samhuri ditawari uang senilai empat belas juta rupiah. Uang itu sebagai kompensasi jika Samhuri mengundurkan diri. “Tanggal 14 April saya dipanggil lagi, saya (ditawari,-red) dikasih uang 14 Juta. Saya disuruhngundurin diri. Saya maunya kerja. Saya maunya kerja pak. Saya gituin,” tegas dia.

Atas dasar itu maka proses mediasi dilakukan ke Sudinakertrans Jaksel sampai akhirnya mediator menerbitkan anjuran pada Juli 2011. Mediator menganjurkan agar manajemen membayarkan pesangon Samhuri sesuai dengan satu kali pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Serta uang penghargaan dan uang penggantian hak. Hal itu ditolak pihak pekerja karena Samhuri ingin bekerja kembali seperti semula. Pihak pekerja melanjutkan upaya hukum dengan mengajukan gugatan kepada manajemen di PHI Jakarta.

Kuasa hukum pihak pekerja, Dewi Fitriana, berpendapat tuduhan manajemen soal pencemaran nama baik atasan, tidak berdasar. Apalagi digunakan sebagai dasar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Jika memang di-PHK atas dasar pencemaran nama baik, maka menurut Dewi, hal ini sudah masuk ranah pidana. Menurutnya, manajemen seharusnya mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil UU Ketenagakerjaan. Dalam peraturan itu disebutkan pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurutnya PHK ini seharusnya tidak terjadi, karena antara kedua belah pihak sudah menyatakan damai. Dewi melihat ada indikasi lain yang menjadi penyebab di-PHKnya Samhuri. Yaitu manajemen ingin melakukan efisiensi sebab Samhuri akan memasuki masa pensiun.

“Karena kami anggap dengan adanya shakehand dan masing-masing pihak telah damai secara lisan, Seharusnya dari pihak perusahaan sendiri tidak mempermasalahkan masalah ini. Tapi kenapa pihak perusahaan mem-PHK sampai tidak memperbolehkan pak Samhuri masuk ke tempat kerja. Kami pikir itu tindakan perusahaan untuk efisiensi. Karena pak Samhuri ini sudah lama bekerja di Dharmawangsa,” ujar kuasa hukum dari Federsi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) kepada hukumonline di PHI Jakarta, Senin (28/11).

Manajemen, masih menurut Dewi, sampai saat ini belum membayarkan upah, tunjangan tetap dan THR 2011 kepada Samhuri. Padahal pada 21 Agustus 2011 pihak pekerja sudah melayangkan surat kepada manajemen. Surat itu ditujukan untuk mengingatkan bahwa hak pekerja belum dibayar.

Selain itu, lanjut Dewi, Komnas HAM lewat surat tertanggal 7 Oktober 2011 juga ikut mengingatkan kepada manajemen agar membayarkan uang THR. Dalam surat itu Komnas HAM juga mengingatkan bahwa manajemen dapat dikenakan hukum pidana jika tidak membayarnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomer 04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan Pasal 8 ayat (1). Setelah menerima surat itu manajemen diberi waktu Komnas HAM selama empat belas hari untuk membayar uang THR. Tetap saja, manajemen bergeming.

Sampai berita ini diturunkan, pihak manajemen belum mau berkomentar. Upaya menghubungi pihak manajemen dan kuasa hukum lewat telepon dan pesan pendek tak membuahkan hasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar