Jumat, 10 Februari 2012

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK

Saya mau bertanya, bagaimana kedudukan hukum serta perlindungan hukum bagi karyawan outsourcing setelah MK mencabut pasal mengenai outsourcing? Serta payung hukum bagi pekerja (outsourcing) saat sekarang ini? Terima kasih.

Jawab :

Kedudukan hukum pelaksanaan outsourcing ini didasarkan pada Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang berbunyi:

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pada 17 Januari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (“MK”) memutus permohonan pengujian UUK yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011). Berikut bunyi amar putusannya:

AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
·          Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam 47 perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
·          Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
·          Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Sumber: Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Tetapi, pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi konstitusi. Agar para pekerja tidak dieksploitasi, Mahkamah menawarkan dua model outsourcing.

Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”), tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”).

Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis.

Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.

Meski demikian, berdasarkan pemberitaan Hukumonline dalam artikel Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing, kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandang melihat tersebut.

Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012. “Putusan Mahkamah Konstitusi  itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin,” kata Menakertrans Muhaimin Iskandar, sebagaimana dikutip dalam artikel Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT.

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perlu kami perjelas bahwa Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tidaklah mencabut pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing (lihat amar putusannya di atas). Untuk pekerja/karyawan outsourcing saat ini  diberikan perlindungan hukum dalam dua model outsourcing sebagaimana kami jelaskan di atas sesuai putusan MK tersebut.  

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.         Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.

Putusan:


Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2186f3b9d1b/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-outsourcing-pasca-putusan-mk

Praktik Outsourcing Pasca Penerbitan Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi B.31/PHIJSK/I/2012

Apakah Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi praktik outsourcing di Indonesia?

Pada April 2011 yang lalu, Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap Pasal 59, Pasal 46, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003) terkait dengan ketentuan outsourcing dan perjanjian kerja waktu tidak tetap. Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 pada tanggal 17 Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menyatakan bahwa frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dapat dikatakan bahwa Putusan MK ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari ketentuan dalam UU No. 13/2003. Dengan gaung yang lebih kuat, dan juga dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai bentuk respon positif dari pemerintah, apakah praktik outsourcing akan mengalami perubahan? Bagaimanakah nasib para pekerja outsourcing ini ke depannya? Lalu, bagaimana dengan para pelaku usaha, khususnya usaha padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja outsourcing? Apakah mereka akan tetap menggunakan tenaga outsourcing atau justru beralih menggunakan alternatif lain untuk menekan cost production?


Sumber :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f322b6d3d274/diskusihukumonlineoutsourcing

Hukumnya Jika Karyawati Diwajibkan Resign Karena Hamil

Mohon penjelasannya, saya seorang karyawati outsourcing di sebuah perusahaan swasta, sekarang posisi saya sedang hamil 3 bulan. Kemarin saya diberitahukan oleh team outsourcing bahwa frontliner yang sudah menikah dan hamil 4 bulan, wajib membuat surat resign ke perusahaan. Padahal sebelumnya tidak ada PKWT mengenai hal tersebut baik secara tertulis maupun lisan, dan pihak team outsourcing di tempat saya bekerja mengatakan bahwa itu adalah peraturan tersendiri yang dibuat oleh perusahaan. Yang jadi pertanyaan; 1. Apakah perusahaan bisa berlaku seperti itu? 2. Apakah hak saya jika saya di-PHK karena alasan kandungan saya? 3. Undang-Undang Tenaga Kerja berapa yang melindungi karyawan outsourcing yang sedang hamil?
 
Jawab :
1.      Pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri atau resign karena Anda hamil. Hal ini didasarkan pada Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang menyatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja. Hal ini sesuai pengaturan Pasal 154 huruf b UUK yang menyatakan:

pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali

Kemudian, Pasal 162 ayat (4) UUK juga menyatakan bahwa:

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Bila ditafsirkan secara a contrario, maka pengunduran diri yang tidak dilakukan atas kemauan pekerja sendiri harus dilakukan berdasarkan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (lihat juga Pasal 151 ayat [3] UUK).

Hal yang hampir sama pernah dialami oleh Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang pernah menjadi staf ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada 2011 lalu di-PHK karena tengah hamil 4 bulan. Sayangnya, setelah dikonsultasikan ke Biro Hukum DPR RI (Jhonson Rajagukguk), dinyatakan bahwa aturan UU Ketenagakerjaan tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan. Lebih jauh, simak artikel Hamil Tua, Staf Ahli Anggota DPR Dipecat.

Dalam hal ini, karena Anda bekerja di perusahaan swasta, maka ketentuan dalam UUK secara tegas berlaku. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah kami sebutkan di atas, Anda tidak boleh dipaksa mengundurkan diri dan sebelum adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Anda tetap berstatus sebagai pekerja dari perusahaan tersebut. Sebagai tambahan, simak artikel terkait Dipaksa Resign, Pekerja Ajukan Gugatan.

2.      Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (lihat Pasal 153 ayat [2] UUK). Karean itu, apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan Anda sedang hamil, perusahaan wajib mempekerjakan Anda kembali. Artinya, Anda tetap berhak atas status Anda sebagai pekerja selama belum adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan industrial yang menyatakan sebaliknya.

3.      Seluruh dasar pengaturan mengenai permasalahan Anda ini dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya juga mencakup perlindungan bagi pekerja outsourcing maupun pekerja yang hamil.

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Sumber :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2cbbf4c5f4c/hukumnya-jika-karyawati-diwajibkan-resign-karena-hamil