Jumat, 10 Februari 2012

Hukumnya Jika Karyawati Diwajibkan Resign Karena Hamil

Mohon penjelasannya, saya seorang karyawati outsourcing di sebuah perusahaan swasta, sekarang posisi saya sedang hamil 3 bulan. Kemarin saya diberitahukan oleh team outsourcing bahwa frontliner yang sudah menikah dan hamil 4 bulan, wajib membuat surat resign ke perusahaan. Padahal sebelumnya tidak ada PKWT mengenai hal tersebut baik secara tertulis maupun lisan, dan pihak team outsourcing di tempat saya bekerja mengatakan bahwa itu adalah peraturan tersendiri yang dibuat oleh perusahaan. Yang jadi pertanyaan; 1. Apakah perusahaan bisa berlaku seperti itu? 2. Apakah hak saya jika saya di-PHK karena alasan kandungan saya? 3. Undang-Undang Tenaga Kerja berapa yang melindungi karyawan outsourcing yang sedang hamil?
 
Jawab :
1.      Pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri atau resign karena Anda hamil. Hal ini didasarkan pada Pasal 153 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang menyatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja. Hal ini sesuai pengaturan Pasal 154 huruf b UUK yang menyatakan:

pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali

Kemudian, Pasal 162 ayat (4) UUK juga menyatakan bahwa:

Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Bila ditafsirkan secara a contrario, maka pengunduran diri yang tidak dilakukan atas kemauan pekerja sendiri harus dilakukan berdasarkan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (lihat juga Pasal 151 ayat [3] UUK).

Hal yang hampir sama pernah dialami oleh Nurely Yudha Sinaningrum. Perempuan yang pernah menjadi staf ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada 2011 lalu di-PHK karena tengah hamil 4 bulan. Sayangnya, setelah dikonsultasikan ke Biro Hukum DPR RI (Jhonson Rajagukguk), dinyatakan bahwa aturan UU Ketenagakerjaan tidak bisa disamakan kedudukannya dengan kondisi di Gedung Dewan. Lebih jauh, simak artikel Hamil Tua, Staf Ahli Anggota DPR Dipecat.

Dalam hal ini, karena Anda bekerja di perusahaan swasta, maka ketentuan dalam UUK secara tegas berlaku. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah kami sebutkan di atas, Anda tidak boleh dipaksa mengundurkan diri dan sebelum adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Anda tetap berstatus sebagai pekerja dari perusahaan tersebut. Sebagai tambahan, simak artikel terkait Dipaksa Resign, Pekerja Ajukan Gugatan.

2.      Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan (lihat Pasal 153 ayat [2] UUK). Karean itu, apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan Anda sedang hamil, perusahaan wajib mempekerjakan Anda kembali. Artinya, Anda tetap berhak atas status Anda sebagai pekerja selama belum adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan industrial yang menyatakan sebaliknya.

3.      Seluruh dasar pengaturan mengenai permasalahan Anda ini dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya juga mencakup perlindungan bagi pekerja outsourcing maupun pekerja yang hamil.

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Sumber :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2cbbf4c5f4c/hukumnya-jika-karyawati-diwajibkan-resign-karena-hamil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar